Hikmah Puasa Ke 26, Puncak Kesadaran Manusia (1)

Oleh :

Dr. Supardi, SH., MH., Als. Rd Mahmud Sirnadirasa ( Kajati Riau)

وَال صلََةَ وََال سلََ مَ عَََلَى محَ م دَ وََاٰلِهَِ مََعََ اَلت سْلِيْمَِ وََبِهَِ نََسْتَعِيْ نَ فَِى تََحْصِيْلَِ اَلْعِنَايَةَِ اَلْعَآ مةَِ وََالْهِدَايَةَِ اَلت آ مةَِ، آَمِيْنََ يََا رََ بَ اَلْعَالَمِيْنََ

Bismillâhirrahmânirrahîm Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang budiman. “Wujud” adalah salah satu sifat dari dua puluh sifat wajib bagi Allah SWT. Sifat Wujud merupakan sifat yang pertama dan utama bagi Allah SWT.

Karena itu, sifat Wujud dikategorikan sebagai sifat Nafsiyyah. Kata “wujud” adalah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dan berasal dari bahasa Arab, “Wujûdun” yang bermakna “Ada”. Sifat “Ada” ini tidak ditentukan atau tidak bergantung kepada yang lain.

Ada-Nya Allah dengan sendiri-Nya. Sifat “Ada” yang dimiliki Allah SWT tidaklah sesederhana yang diasumsikan oleh manusia. Klaim keberadaan oleh manusia terbatas pada apa yang nampak dan kasat mata dzhãhir.

Hal itu sangatlah palsu dan usang. Mengapa? Karena mata dzhãhir manusia muncul dari sifat nisbinya manusia. Ya, manusia bersifat nisbi, bukan wujud. Nisbi adalah “wujud palsu” atau “wujud bayangan” yang kemunculannya karena sebuah penisbahan.

“Wujud” manusia disebut nisbi (nisbiy : dalam Bahasa Arab) karena dinisbahkan (disandarkan) kepada Mansûb (Yang Menerima Penyandaran). Seperti bayangan benda yang disinari matahari. Bayangan dari benda bukanlah benda, tapi ia dinisbahkan kepada benda sebagai pemilik bayangan. Bayangan itu dimunculkan oleh benda, bukan muncul dengan sendirinya.

Penglihatan manusia terhadap dirinya sendiri dan benda-benda di sekitarnya sangatlah bergantung pada unsur-unsur yang memunculkan penglihatan.

Oleh karena sifat nisbinya, maka mata manusia hanya memunculkan penglihatan kepada benda-benda yang juga bersifat nisbi. Ia sangat bergantung pada cahaya, bentuk, warna, dan jarak atau unsur-unsur lain yang mendukung terjadinya penglihatan.

Tanpa cahaya, semua penampakan menjadi sirna, maka penglihatanpun hilang. Singkatnya, penglihatan manusia yang nisbi akan sangat dipengaruhi oleh segala sesuatu yang bersifat nisbi untuk memunculkan penglihatan kepada obyek yang juga nisbi.

Lalu, jika kematian tertinggi seseorang di akhir hidupnya adalah syahîd, di mana dan bagaimana Sang Wujud Mutlak dapat disaksikan oleh sesuatu yang nisbi? Dalam perspektif ilmu Tauhid, Allah SWT, Tuhan Sang Pencipta, memiliki nama al-Awwalu wal-Ãkhiru (Yang Awal dan Yang Akhir).

Awal artinya tidak ada yang mendahului-Nya, dan Akhir artinya tidak ada yang lebih akhir daripada Akhir-Nya. Tak ada sesuatupun setelah-Nya. Dengan kata lain, Maha Akhir Allah SWT bermakna Keabadian dan Kekekalan-Nya.

هوََ اَلَْْ و لَ وََالْْخِ رَ وَََال ظاهِ رَ وََالْبَاطِ نَ وَََۖ هوََ بَِ ك لَ شََيْ ءَ عََلِي مَ ۞ََ

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Hadid [57]: 3) Di antara Maha Awal dan Maha Akhir-Nya, lalu Allah SWT menciptakan manusia dan alam semesta menurut kehendak-Nya (irãdah).

Awal seluruh kehendak adalah kehendak-Nya. Irãdah adalah sebuah kehendak yang menjadi obyek dari Yang Maha Berkehendak (Murîdun). Obyek itu menjadi titik sambung dari Murîdun. Irãdah (Kehendak) dan Murîdun (Maha Berkehendak) adalah dua sifat yang saling berkaitan satu sama lain.

إِن مَا أََمْ رهَ إَِذَا أَََرَادََ شََيْئًا أَََنَْ يََق ولََ لََهَ كنَْ فََيَ كو نَ ۞َ

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia”.

(QS. Yasin [36]: 82) إِ نَ اللََّ بََالِ غَ أََمْرِهَِ قَََۚدَْ جََعَلََ اللَّ لَِ ك لَ شََيْ ءَ قََدْرًا ۞َ

“Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. At-Thalaq [65]: 3)

Tanpa kehendak-Nya untuk mengadakan/menciptakan, maka manusia dan alam semesta tidak akan pernah ada. Karena itu, manusia dan alam semesta adalah “wujud” dari kehendak-Nya. Manusia dan alam semesta adalah sebuah Irãdah dari Yang Maha Berkehendak. Sebuah obyek bayangan-Nya yang diadakan oleh Kehendak-Nya.

Oleh Karena manusia dan alam semesta ini adalah “wujud bayangan” yang diadakan oleh Irãdah-Nya dan bersifat nisbi, maka pada hakikatnya manusia dan alam semesta itu adalah ketiadaan. Sesungguhnya manusia dan alam semesta ini tidak ada. Keduanya menjadi “ada” karena dikehendaki oleh Yang Maha Ada.

Kehendak Yang Maha Ada tidak dapat diprediksi, kapan dan bagaimana sesuatu yang dikehendaki itu diadakan atau ditiadakan. Tak dapat diprediksi pula, bagaimana Yang Maha Ada mengambil cara untuk mengadakan sesuatu, apakah dengan suatu sebab atau tanpa sebab. Karena keberadaan manusia dan alam semesta dimunculkan berdasarkan kehendak (Irãdah), maka semua sangat bergantung dan akan kembali kepada Yang Maha Berkehendak. Sang Maha Ada, karena yang awal dan akhir serta kekal (baqã’) hanya Allah Yang Maha Ada, “innã lillãhi wa innã ilaihi rãji’ûn”.

Oleh karena itu, manusia dan alam semesta ini sejatinya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan Kehendak-Nya, berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Kenyataan ini adalah sebuah “kebenaran tertinggi” yang kesadarannya harus dicapai oleh manusia. Sehingga wujud manusia yang nisbi harus dinegasikan dengan sebuah penafian atau peniadaan melalui kalimat agung “Lã ilãha illa Allãh“, tidak ada tuhan selain Allah.

Kesadaran manusia akan “kebenaran tertinggi” harus diwujudkan dengan melemparkan klaim keberadaan sejauh-jauhnya. Bahwa tidak ada wujud selain Allah, tidak ada maksud selain Allah, dan tidak ada kecintaan selain Allah.

Klaim keberadaan, sekecil apapun (walau sebesar biji dzarrah), adalah sebuah kesombongan. Berusahalah untuk membuangnya jauh-jauh. Karena pencapaian kesadaran akan ketiadaan ini sangatlah penting, maka setiap manusia (mau tidak mau, like or dislike) dituntut harus berbuat menurut sandaran yang ditentukan oleh-Nya, yaitu patuh kepada perintah-Nya melalui ketentuan yang diturunkan melalui utusan-Nya (athî‘ullãha wa athî‘ur rasûl).

Ketika manusia berbuat menurut hawa nafsunya, tanpa peduli dengan perintah-perintah-Nya, maka berarti ia telah menentang kodrat “ketiadaan” yang telah ditentukan. Kodrat “ketiadaan” manusia telah hilang dari kesadarannya akibat kesombongan yang diperbuatnya.

Karena itu, semua prilaku yang didasari atas kesombongan akan dihadapkan pada Sang Pemilik Wujud Mutlak untuk dimintakan pertanggungjawabannya.

Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, marilah kita berusaha untuk mencapai sebuah kesadaran tertinggi, bahwa kita tidak akan pernah ada, jika Yang Maha Menghendaki tidak berkehendak ada. Suatu saat, kita akan kembali kepada kehendak-Nya, yaitu kematian.

Saat itu, kita mulai mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita ketika wujud semu kita “diadakan” oleh sebuah kehendak dari Yang Maha Ada. Bahwa “keberadaan” yang dinafikan pada puncaknya akan menghasilkan sebuah kesaksian; ‘araftu rabbî birabbî, “aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku”.

Mari kita tutup kajian ini dengan sebuah do’a:

اللّٰ ه مَ رََحْمَتَكََ أَََرْ جوَ فََلَََ تََكِلْنِي إَِلَى نََفْسِي طََرْفَةََ عََيْ ن، وََأَصْلِحَْ لَِيَْ شََأْنِي كل ه ، لَََْ إَِلَهََ إَِلَ أََنْتََ

Allãhumma rahmataka arjû falã takilnî ilã nafsî tharfaka ainin ashlih lî sya’nî kullah, lã ilãha illã anta. “Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan, janganlah Engkau serahkan (segala urusanku) kepada diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau”. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

Pekanbaru, 17 April 2023